|
Source: Pinterest |
Ketika teman-teman (rekan kerja) berkunjung
ke rumah, ada satu pertanyaan yang menarik, "Gimana miss rasanya jadi
ibu? Kan dulu kerja sekarang di rumah, ngurus anak." Rasanya? It's more
challenging (or tiring if I may say) than working as a teacher taking
care of other's kids for several hours!
Seorang ibu (of
a newborn baby) dituntut siaga 24/7 alias 24 jam sehari, 7 hari
seminggu. Memang ada ayah yang siap membantu, tapi kalau anak nangis,
tetap saja si ibu tidak tenang. Capek? Iya. Bosan? Kadang.
Jadi apa saya menyesal memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan kepala sekolah dan menjadi ibu penuh waktu? Tidak.
Keputusan
itu sudah dipertimbangkan baik-baik. Selain karena tidak ada sanak
saudara di sini yang bisa 'dititipi' anak, saya termasuk ibu idealis
yang memang ingin merawat anak sendiri -no babysitter! (sekian tahun di
dunia pendidikan membuat saya berpikir 'sudah lama urus anak-anak orang,
sekarang urus anak sendiri'). Di samping itu, saya tahu batasan diri
saya. Saya merasa tidak akan sanggup menjadi 'working mom'. Jadi ibu
penuh waktu saja capeknya luar biasa, apalagi ibu yang bekerja (dan
bekerja sebagai guru yang harus menghadapi anak-anak didik dengan
berbagai tantangan). Pasti super melelahkan.
Saya
bangga berani memutuskan untuk menjadi ibu penuh waktu pun menghormati
suami saya yang mendukung sepenuhnya. Itu tanda cinta saya (dan suami)
pada anak. Walau begitu, saya juga harus angkat topi untuk ibu-ibu yang
tetap bekerja karena mereka luar biasa hebat. Belum tentu saya sanggup
seperti mereka.
Entah jadi ibu penuh waktu atau ibu bekerja, kita sama-sama ibu yang mengasihi anak-anak kita. Yakan?
Selamat hari ibu, para ibu hebat! 😘
|
Source: Pinterest |
Hari pertama Rapha lahir, ASI saya belum
keluar setetes pun. Tapi saya dan suami mendukung IMD. Jadi, walaupun
belum ada tetes-tetes kolostrum pertama, tetap bayi Rapha dikenalkan
pada puting saya. Karena nafas yang belum teratur, hari pertama itu bayi
Rapha tidak tidur sama saya, berarti tidak bisa menyusu, artinya juga
tidak bisa merangsang kelenjar ASI untuk produksi. Hari pertama bayi
Rapha sudah diberi susu formula.
Kok saya dan suami menyetujui? Bukannya anak bisa bertahan 2-3 hari setelah lahir tanpa asupan apapun?
Saya
dan suami tidak mau ambil risiko bayi Rapha dehidrasi. Jadi kapanpun
bayi Rapha butuh, pihak rumah sakit sudah mendapat persetujuan memberi
susu formula.
Hari ketiga, saya sudah boleh pulang,
tapi bayi Rapha masih harus tinggal di rumah sakit untuk dua hari karena
bilirubin yang tinggi. Rasanya sedih bercampur takut. Pihak rumah sakit
terbuka 24 jam untuk pengantaran ASI. Tapi saat itu ASI saya masih
sedikit. Sekali pompa, dalam waktu satu jam, hanya dapat 15-20 ml.
Hari
kedua, bayi Rapha boleh pulang. Dengan catatan di rumah rajin dijemur
dan banyak asupan. Tapi hanya empat hari di rumah, bayi Rapha harus ke
rumah sakit lagi karena lemas. Ternyata bilirubinnya naik lagi.
Penyebabnya: kurang dijemur (karena memang tidak ada sinar matahari) dan
KURANG MINUM. Ini yang membuat saya merasa sangat bersalah. Saya sangat
ingin bayi Rapha hanya minum ASI. Padahal jumlah yang dibutuhkan jauh
lebih besar daripada yang dihasilkan oleh saya.
Empat
hari di rumah sakit, suami bolak-balik antar ASI. Tapi tidak se-ngoyo
sebelumnya. Berapapun hasil pompaan dalam 3 jam, itu yang diantar.
Pernah hanya dapat 30 ml, pernah juga 60 ml. Puji Tuhan, suami termasuk
ayah ASI, jadi tetap antar. Oiya, bayi Rapha sekali minum 80 ml, tiap 3
jam. Jadi ASI saya tentu tidak cukup. Sisanya? Susu formula.
Sampai
di rumah, saya dan suami mulai agak ketat untuk asupan bayi Rapha. Tiap
hari saya pompa ASI supaya dapat mengukur asupan bayi Rapha. Karena ASI
belum cukup untuk minimal 8 x 80ml sehari, kami beri tambahan susu
formula.
Apa saya dan suami tidak ingin memberi ASI eksklusif? Tentu
ingin. Breast milk is the best milk ever! Lagian dengan ASIX kan jadi
irit, ga perlu beli susu formula. Tapi kami memilih untuk mengubur ego
kami, yang penting Rapha sehat.
Ada yang komentar di
foto yang diunggah suami saya di Facebook, "jangan lupa ASI Eksklusif
ya". Diiyain aja. She knows nothing about the condition. I take it as a
motivation.
Buat emak-emak yang bisa kasih ASIX, that's such a privilege. Give thanks for it.
Buat emak-emak seperti saya yang harus mengkombinasikan ASI dan Sufor, kita tetap harus bersyukur masih bisa kasih ASI.
Buat
emak-emak yang full kasih sufor, it's ok. Ngasih sufor ke anak ga dosa
kok. Toh banyak banget anak yang dikasih sufor pas bayi, gedenya juga
sehat, cerdas, lincah.
Intinya syukuri aja mau ASIX,
ASI+SuFor, full SuFor. Kita sendiri yang tahu keadaan kita dan bayi
kita. Yang penting debay sehat. Orang lain mau komentar negatif, kita
kibasin rambut aja.