Halaman

Rabu, 03 Januari 2018

Kebiasaan Membandingkan (part 1)

"Miss, kok anak saya belum bisa bicara ya? Apa speech delay?"
"Miss, si A sudah bisa lepas popok, kok anak saya belum ya?"
"Miss, anak saya kok ga kayak si B ya?"
"Kalau si C hebat ya sudah bisa baca, anak saya kenal huruf aja masih salah-salah."
 

Ya, itu beberapa kalimat yang sering saya dengar saat mengajar di TK.

Atau ... "Si A aja bisa dapet nilai 100 kok anak saya ga bisa sih?"
"Si B pinter tuh basketnya, saya mau les-in anak saya basket juga ah."


Itu hanya dua kalimat yang bisa saya ingat saat mengajar di SD.

Siapa yang ngomong itu? Orang tua. 


Sekarang ... 
"Anakku kok belum bisa angkat kepala ya? Padahal sudah umurnya."
"Anakku sudah naik BBnya 5 kg, anakmu gimana?"
"ASImu dikit ya? Pantesan anakmu kecil gitu. Anakku minumnya kuat, jadi gendutnya cepet."

Siapa yang ngomong gitu? Orang tua (juga)

Intinya, semua orang tua (pada dasarnya) punya intuisi untuk membandingkan. Padahal ya, tiap anak itu beda. Tiap anak itu unik. Jangan sama ratakan. Perkembangan tiap anak pasti beda.

Memang ada teori yang bilang usia sekian harus sudah bisa ini dan itu. Tapi itu sekadar teori, bukan patokan mutlak yang harus dipegang teguh.

Kalau ada yang bilang "anakku sudah bisa ini itu, anakmu belum ya?" - jangan diambil hati. Sekali lagi, perkembangan tiap anak itu beda. Tiap anak diciptakan unik.

Dan kalau ada yang bilang, "wah hebat ya si A sudah bisa ini itu, anakku kok belum ya?" - kasih tau aja kalau (lagi-lagi) perkembangan tiap anak itu beda. Tiap anak diciptakan unik.

So, anakku ya anakku. Anakmu ya anakmu. Mereka beda. Jangan dibandingkan. Jangan disamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar