Halaman

Kamis, 04 Januari 2018

(Masih Tentang) Kebiasaan Membandingkan

This was Bunda Rapha years and years ago :)

Waktu kecil sampai memasuki usia remaja, saya termasuk 'korban' perbandingan. Kadang orang tua, kadang saudara lain yang membandingkan.

Dengan siapa saya-kecil ini dibandingkan? Dengan sepupu-sepupu. Mulai dari, "Kamu tu cewek, pakai rok. Kayak cicik (kakak sepupu perempuan) itu lho mau pakai rok," atau "Rambutmu dipanjangin biar cantik kayak cicik itu," Memang tidak semua negatif, ada positifnya. Tapi tetap saja yang namanya dibandingkan itu tidak enak. I am who I am.

Oya, ada satu kejadian yang paling terkenang:

Saat SMA, saya memilih jurusan yang dianggap 'tercela'. Saya tidak mau masuk jurusan IPA karena menurut saya kurang 'applicable' dalam hidup sehari-hari. Dan memang tidak bisa masuk IPA karena nilai Kimia saya jauh di bawah standard. Saya tidak mau masuk IPS karena saya tidak suka menghitung nominal uang tapi tidak ada uangnya. Dan memang nilai Akuntansi saya jeblok.

Saya masuk jurusan Bahasa. Bukan karena terpaksa, tapi memang itu pilihan saya. Saya suka belajar bahasa (walaupun akhirnya saya tidak berhasil menjadi fasih bahasa Mandarin 🙈). Komentar yang ada:
• Kok masuk bahasa? Kalo ga kayak cicik masuk IPA, ya kayak ooh (kakak sepupu laki-laki) tu IPS.
• Ngapain masuk bahasa? Ntar kuliah apa? Kayak cicik tu IPA, banyak pilihan kuliahnya.
• O, masuk bahasa? IPS tu kayak ooh, kuliah gampang, kerja juga gampang.
dan seterusnya, dan seterusnya.

Akhirnya saya tetap masuk kelas bahasa. Menyesal? No, no, no. Pelajaran sesuai minat dan kemampuan, teman sekelas pun asik. Satu tahun terkakhir di SMA yang paling saya nikmati.

Perbandingannya selesai? Tentu belum. Menjelang pendaftaran kuliah: • Masuk UNIKA (Soegijapranata) aja kayak ooh sama cicik
• Ambil Ekonomi aja, gampang kerjanya. Kayak ooh tu.
• Udah, kuliah di Semarang aja. Ga usah jauh-jauh. Ooh sama cicik juga kuliah di Semarang.
dan seterusnya, dan seterusnya. Helooow! I live my life in my own way. Dibanding-bandingkan itu capek lho. Dalam kasus saya, saya anggap perbandingan itu motivasi. Motivasi untuk menunjukkan pilihan saya tidak salah.

Sekarang masih dibandingkan? Kadang. Trus? Kibasin rambut aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar